“PENGARUH KESESUAIAN BmIDANG KEAHLIAN PAMONG BELAJARDENGAN MATA PELAJARAN YANG DIAJARKAN TERHADAP
PRESTASI BELAJAR WARGA BELAJAR PROGRAM PAKET C DI SKB UNGARAN.SEMARANG TAHUN
PELAJARAN 2011/2012”
II.LATAR
BELAKANG
Salah satu tujuan nasional yang tertuang dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan
tersebut dapat dicapai melalui pendidikan, baik pendidikan formal, pendidikan
non formal maupun informal.
Tujuan pendidikan nasional yang hendak dicapai
bangsa Indonesia telah tertuang dalam GBHN, yaitu : “Pendidikan nasional yang
berakar pada kebudayaan Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945 diarahkan meningkatkan kecerdasan kehidupan bangsa dan kualitas sumber
daya manusia, mengembangkan manusia serta masyarakat Indonesia yang beriman dan
bertaqwa Kepada Tuhan yang Maha Esa, berahklak mulia, berbudi pekerti luhur,
memiliki pengetahuan, keahlian dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani,
serta kepribadian yang mantap dan mandiri. Pendidikan nasional juga harus
menumbuhkan dan mempertebal rasa cinta tanah air, meningkatkan semangat
kebangsaan, wawasan keunggulan, kesetiakawanan sosial, dan kesadaran pada
sejarah bangsa dan sikap menghargai jasa para pahlawan serta berorientasi masa
depan” (GBHN RI 1998).
Untuk mewujudkan manusia Indonesia sesuai dengan
GBHN diatas, maka pendidikan termasuk didalamnya pengajaran harus selalu
ditingkatkan, baik dari segi kualitas dan pemerataannya.
Usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan seperti
yang diharapkan, selalu ditempuh dengan jalan peningkatan mutu pengajar,
penyempurnaan kurikulum, pemenuhan sarana prasarana juga harus mengefektifkan
dan mendayagunakan komponen lain sebagai bagian integral dalam pelaksanaan
pendidikan dan pengajaran guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Salah satu komponen dari sistem pendidikan itu
adalah siswa atau warga belajar yang
merupakan subjek dari proses belajar dan pembelajaran.
Sebagai subjek didik dalam proses belajar, siswa
sering mengalami berbagai hambatan yang mengakibatkan tidak tercapainya tujuan
yang diharapkan. Jika hambatan itu tidak segera tertanggulangi bisa berakibat
terjadinya kegagalan. Kegagalan belajar ini akan merugikan berbagai pihak,
terutama pada anak didik itu sendiri. Kegagalan belajar dapat menimbulkan
berbagai dampak negatif bagi anak, baik yang merugikan diri sendiri maupun lingkungannya
(TIM MKDK IKIP Semarang, 1996 : 1).
Dalam proses belajar, keberhasilan siswa dipengaruhi
oleh dua faktor yaitu faktor dari dalam diri siswa (faktor internal) dan faktor
dari luar diri siswa (faktor eksternal).
Sebagai salah satu faktor eksternal, lingkungan
siswa merupakan faktor penting dalam menunjang keberhasilan siswa. Lingkungan
siswa secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi 3 macam yaitu : a).
Lingkungan keluarga, b). Lingkungan sekolah, c). Lingkungan masyarakat.
(Barnadib, 1982 : 118).
Diantara ketiga lingkungan tersebut, lingkungan
sekolah mempunyai pengaruh yang besar dalam pertumbuhan dan perkembangan anak
disamping lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat. Sekolah merupakan
tempat belajar kedua setelah keluarga. Di dalam sekolahlah orang dapat belajar,
berlatih suatu ilmu dan memupuk rasa tanggungjawab.
Namun perlu diwaspadai bahwa lingkungan tempat
manusia belajar itu tidak selalu dalam keadaan baik, artinya ada yang
menguntungkan dan ada pula yang tidak menguntungkan. Di dalam sekolah,
keberhasilan seorang siswa juga dipengaruhi oleh professional dan tidaknya guru
dalam mengajar.
Keberhasilan atau kompetensi lulusan siswa-siswi SMK
Negeri 4 Semarang juga bergantung pada keprofesionalan dan kesesuaian pengajar
terhadap mata pelajaran yang diajarkan.
III.PERMASALAHAN
Berdasarkan
latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, permasalahan yang muncul
adalah :
1.Sejauh
mana keprofesionalan mengajar pamong belajar SKB Ungaran ?
2.Seberapa
besar pengaruh kesesuaian bidang keahlian pamong belajar/ guru dengan mata pelajaran yang diajarkan terhadap hasil
belajar warga belajar program paket c di SKB Ungaran ?
IV.TUJUAN
PENELITIAN
1.Untuk
mengetahui sejauh mana keprofesionalan mengajar pamong belajar SKB Ungaran.
2.Untuk
mengetahui dan membandingkan seberapa besar pengaruh kesesuaian bidang keahlian
pamong belajar dengan mata pelajaran yang diajarkan terhadap hasil belajar
warga belajar program paket C di SKB Ungaran.
V.KEGUNAAN
PENELITIAN
Dengan penelitian ini diharapkan dapat
berguna bagi dunia pendidikan . manfaat yang peneliti harapkan :
a.Sebagai
input bagi SKB, khususnya para pamong belajar agar dapat meningkatkan
keprofesionalan dalam mengajar.
b.Sebagai
bahan pertimbangan bagi SKB dalam rangka peningkatan mutu pendidikan sehubungan
dengan faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar mengajar.
c.Sebagai
tambahan wawasan penulis dalam tahapan proses pembinaan diri sebagai calon Pamong
belajar/pengajar.
VI.PENEGASAN
ISTILAH
1.Prestasi Belajar
Prestasi
belajar dalam penelitian ini adalah hasil belajar yang telah dicapai oleh warga
belajar SKB ungaran program paket C tahun pembelajaran 2011/2012 yang
ditunjukkan dengan nilai akhir yang diberikan oleh guru.
2.Pamong belajar
3.Warga belajar
Warga
belajar yang dimaksud dalam penelitian ini adalah warga belajar program paket C
di SKB Ungaran tahun pembelajaran 2011/2012.
VII.LANDASAN
TEORI
A.Keterampilan
Dasar Mengajar
Keterampilan dasar mengajar adalah keterampilan yang
mutlak harus dipenuhi guru, yaitu keterampilan mengajar yang diharapkan agar
guru dapat mengoptimalkan perannya di kelas. (Syaiful Bahri Djamari, 2000: 99).
Guru profesional dituntut mampu mengaitkan kemampuan
yang telah dimiliki dan akan dipelajari oleh siswa, yaitu diantaranya keterampilan
dalam pembelajaran di kelas (Catharina Tri Anni, 2004: 13). Beberapa
keterampilan dasar yang harus dikuasai oleh guru adalah: (Syaiful Bahri
Djamari, 2000: 99)
1.Keterampilan
Memberi Penguatan (renforcement()
Dalam kehidupan sehari-hari, kita mengenal adanya
“hadiah” orang yang menyelesaikan program sekolahnya hadiahnya adalah ijazah.
Pemberian hadiah tersebut secara psikologis akan berpengaruh terhadap tingkah
laku seseorang yang menerimanya. Demikian juga halnya dengan pemberian hukuman
yang diberikan seseorang karena telah mencontek. Baik pemberian hadiah maupun
pemberian hukuman merupakan respon seseorang kepada orang lain karena
perbuatannya. Pemberian respon yang demikian dalam proses interaksi edukatif
disebut “pemberian penguatan” karena hal tersebut akan membantu sekali dalam
meningkatkan hasil belajar siswa. Dengan kata lain, pengubahan tingkah laku
siswa (behaviour modification) dapat
dilakukan dengan pemberian penguatan.
a.Penggunaan
di dalam kelas
Tujuan penggunaan keterampilan memberi penguatan di
dalam kelas adalah untuk:
-Meningkatkan
perhatian dan membantu siswa belajar;
-Memberi
motivasi pada siswa;
-Dipakai
untuk mengontrol atau mengubah tingkah laku siwa yang mengganggu.
b.Aplikasi
Pemberian
aplikasi penguatan dapat dilakukan pada saat:
-Menyelesaikan
hasil kerja (setelah penuh atau menyelesaikan format).
c.Pola
penguatan
Pola
dasar pemberian penguatan adalah pola berkesinambungandan pola sebagian sebagian, guru sebaiknya
berhati-hati dalam memilih pola penguatan terhadap seorang siswa sebagai
individu sebagai anggota kelompok.
d.Komponen
pemberian penguatan
Dalam
pemberian penguatan, diperlukan sebagai komponen keterampilan yang tepat,
komponen tersebut yaitu:
-Penguatan
verbal
-Penguatan
gestural
-Penguatan
kegiatan
-Penguatan
mendekati
-Penguatan
sentuhan
-Penguatan
tanda
e.Prinsip
penggunaan
Empat
prinsip yang harus diperhatikan oleh pamong belajar/guru dalam memberi
penguatan pada siswa adalah sebagai berikut:
-Hangat
dan antusias
-Hindari
penggunaan penguatan negatif
-Penggunaan
bervariasi
-Bermakna
2.Keterampilan
Bertanya
Bagaimanapun tujuan pendidikan, secara universal
guru akan selalu menggunakan keterampilan bertanya kepada siswanya. Dengan
demikian, guru tidak hanya akan belajar bagaimana bertanya yang baik dan benar,
tetapi juga belajar bagaimana pengaruh belajar dalam kelas.
a.Penggunaan
keterampilan bertanya dasar
-Tujuan
1)Meningkatkan
perhatian dan rasa ingin tahu siswa terhadap satu topik;
2)Mengembangkan
belajar secara efektif;
3)Memfokuskan
perhatian pada suatu konsep masalah tertentu
4)Menstimulasi
siswa untuk bertanya pada diri sendiri ataupun pada orang lain
5)Mendiagnosis
kesulitan belajar siswa
b.Penyusunan
kata-kata
Untuk
membantu merespon pertanyaan pamong belajar, pertanyaan harus disusun dengan
kata-kata yang cocok dengan tingkat perkembangan kelompok.
c.Struktur
d.Pemusatan
Ada
dua aspek yang dapat diambil dari komponen pemusatan ini. Pertama terhadap
ruang lingkup pertanyaan yang luas (terbuka) atau sempit. Aspek kedua ialah
pemusatan terhadap jumlah tugas, siswa sebagai akibat dari pertanyaan guru.
Pertanyaan yang baik adalah pertanyaan yang dipusatkan untuk satu tugas dengan
demikian akan menjadi jelas spesifikasi tugas yang diharapkan dari siswa.
e.Pindah
gilir
Bila
guru menghendaki tetap ada perhatian penuh dari siswa dan meminta beberapa
siswa untuk merespon, pamong belajar dapat menggunakan teknik bertanya bergilir.
f.Distribusi
Untuk
melibatkan siswa langsung dalam pelajaran, disarankan pendistribusian pertanyaan
secara random selama proses belajar mengajar berlangsung.
Bilamana
dianalisis secara mendalam, setidaknya terdapat tiga pendekatan kepemimpinan,
yaitu: (1) Pendekatan sifat, (2) Pendekatan perilaku, dan (3) Pendekatan
kontingensi.
1.Pendekatan Sifat
Secara
historis, mula-mula timbul pemikiran bahwa pemipin itu dilahirkan, bukan
dibentuk atau karena pengalaman. Pemikiran ini disebut Hereditary (turun-temurun).
Namun demikian, kemudian muncul teori baru, yaitu teori Physical characteristic. Teori ini dikemukakan oleh Sheldon, bahwa
ada 76 tipe struktur badan yang berhubungan dengan perbedaan temperamen dan
kepribadian. Perkembangan terakhir menyatakan bahwa pemimpin itu dapat dibentuk
atau dilatih.
Sebagai
contoh dari pendekatan sifat adalah menurut Thierauf, Klekamp, dan Geeding
(1977: 493), yang menyatakan bahwa pemimpin memiliki ciri-ciri: kecerdasan,
inisiatif, daya khayal, bersemangat, harapan baik, keberanian, keaslian,
kesediaan menerima, kemampuan berkomuniasi, rasa perlakuan yang wajar terhadap
semua orang, kepribadian, keuletan, manusiawi, kemampuan mengawasi, dan
ketenangan diri. Terry (1972: 470) merinci bahwa pemimpin memiliki ciri-ciri:
kecerdasan, inisiatif, kekuatan dan dorongan, kematangan perasaan, meyakinkan,
kemahiran berkomunikasi, ketenangan diri, cerdik, daya cipta, dan berperan
serta dalam pergaulan. Stogdill (1984) menyatakan bahwa pemimpin memiliki
ciri-ciri: kecerdasan, berilmu, dapat diandalkan dalam pelaksanaan
pertanggungjawaban, aktifitas dan peran serta sosial, dan status sosial
ekonomi. Treeman dan Taylor (1950) juga menyatakan bahwa seorang pemimpin
memiliki sifat: tekun, giat, keras hati, bercita-cita, kuat, berani, kerja
sama, percaya diri, tenang, riang, berjiwa matang, efisien, cerdas, berbakat,
banyak akal, penuh daya khayal, mendahulukan kepentingan orang lain, tidak
mementingkan diri sendiri, setia kepada cita-cita berakhlak, dan lapang dada
(sabar).
Feldman
dan Arnold (1983) menyatakan bahwa seorang pemimpin dituntut memiliki (1) sifat-sifat pribadi: penyesuaian
diri, giat dan tegas, berpengaruh, keseimbangan jiwa dan kontrol, kebebasan
(tidak penurut), keaslian dan daya cipta, kejujuran pribadi, dan percaya diri;
(2) kemampuan: kecerdasan,
pertimbangan, membuat keputusan, pengetahuan luas, pandai berkomunikasi ; dan (3) kemahiran sosial: kemampuan bekerja
sama, kemampuan administrasi, populis dan berwibawa, suka bergaul, peran serta
sosial, dan kebijaksanaan serta pandai berdiplomasi. Sutarto (1998) menyatakan
bahwa sifat-sifat yang sebaiknya dimiliki oleh seorang pemimpin adalah: taqwa,
sehat, cakap, jujur, tegas, setia, cerdik, berani, berilmu, efisien, disiplin,
manusiawi, bijaksana, bersemangat, percaya diri, berjiwa matang, bertindak
adil, berkemauan keras, daya cipta asli, berwawasan situasi, berpengharapan
baik, mampu berkomunikasi, berdaya tanggap tajam, mampu menyusun rencana, mampu
melakukan kontrol, bermotivasi kerja sehat, memiliki tanggung jawab, satunya kata dan perbuatan, dan
mendahulukan kepentingan orang lain. Fakri Gaffar (2002) menyatakan bahwa manajer pendidikan dituntut memiliki
karakteristik, yaitu memiliki wawasan nasional, wawasan daerah, dan wawasan
global, memiliki komitmen dan kemauan tinggi untuk membangun pendidikan untuk
kepentingan masyarakat daerah, dan masyarakat bangsa; memiliki cinta bangsa
yang amat mendalam tanpa membedakan asal suku, agama, tempat tinggal, status
ekonomi, gender, dan warna kulit; memiliki sikap terbuka, dan sikap menerima
kenyataan hidup yang dihadapi dengan penuh cermat dan hati-hati; memeliki
akhlak yang mulia, dan iman taqwa yang kuat; memiliki sikap profesionalisme
yang tinggi; memiliki cinta lingkungan hidup; memiliki rasa hormat kepada
setiap orang sebagai manusia; memiliki keikhlasan dan kesabaran untuk
melaksanakan fungsinya sebagai pimpinan; memiliki pemahaman yang memadai
tentang manajemen, tentang pendidikan, tentang teknologi informasi termasuk
komputer, dan memiliki sikap akademik yang integratif.
Pendekatan
sifat tentang kepemimpinan bersifat tidak absolut sebab tak seorangpun yang bisa
memiliki sifat-sifat secara lengkap dan utuh, bahkan situasi yang dihadapi
organisasi berbeda satu sama lain, sehingga setiap organisasi menuntut
keberadaan sifat-sifat kepemimpinan yang berbeda. Dalam hal ini Freeman and
Taylor (1950) menyampaikan ciri-ciri pemimpin yang seharusnya ada pada pribadi
pemimpin, dan sifat-sifat yang seharusnya tidak ada pada seorang pemimpin.
Sifat-sifat tersebut dapat dilihat pada tabel 1.
2.Pendekatan Perilaku
Pendekatan
perilaku terhadap kepemimpinan didasarkan pada suatu pemikiran bahwa
keberhasilan pemimpin ditentukan oleh gaya bersikap dan gaya bertindak pemimpin
yang bersangkutan. Gaya bersikap dan bertindak akan tampak dari: cara melakukan
suatu pekerjaan, cara memberikan perintah, cara memberi tugas, cara
berkomunikasi, cara membuat keputusan, cara mendorong semangat bawahannya, cara
memberikan bimbingan, cara menegakkan disiplin, cara memimpin rapat, cara
mengawasi pekerjaan bawahan, cara menegur kesalahan bawahan. Berdasarkan
pengamatan pada gaya bersikap dan bertindak, seorang pemimpin dikatakan
memiliki gaya kepemimpinan otoriter, atau demokratik.
Pendekatan
perilaku yang melahirkan beberapa teori gaya kepemimpinan, penelitiannya telah
dilakukan oleh: Universitas Iowa,
Universitas Ohio, Universitas Michigan, studi managerial Grid, teori empat
sistem manajemen, serta teori X dan Y.
Tabel
1. Sifat-sifat yang Harus dan Tidak Harus Dimiliki Pemimpin
Pemimpin Seyogyanya
Pemimpin Tidak Seyogyanya
1.Rajin
2.Giat
3.Keras hati
4.Kuat
5.Berani
6.Bekerja sama
7.Yakin diri (tenang)
8.Riang
9.Matang emosi
10. Efisien
11. Cerdas
12. Berbakat
13. Banyak akal
14. Penuh daya khayal
15. Mengutamakan orang lain
16. Tak mementingkan diri
17. Setia pada cita-cita
18. Susila
19. Lapang dada
20. Adil
1.Malas
2.Keras kepala
3.Tidak konsisten
4.Menunda-nunda
5.Malu
6.Pengecut
7.Tidak mau mundur
8.Gelisah
9.Kaku
10.Tidak matang
11.Gegabah
12.Tak berdaya jika ditekan
13.Melarikan diri (jemu)
14.Beralasan bebas dari salah
15.Tak bermutu
16.Sombong
17.Fanatik
18.Bandel
19.Tak masuk akal
20. Asusila
Studi
kepemimpinan Universitas Iowa merumuskan tiga gaya kepemimpinan: (1)
authoritarian (otoriter), autocratic (otokratis), dictatorial (diktator); (2)
demokratic (demokratis); dan (3) laiseez faire (kebebasan), free-rein (bebas
kendali), dan libertarian (kebebasan).
Beberapa
ciri gaya otoriter oleh Agarval (1982) dinyatakan bahwa “authocatic or authoritarian: These kind of leader give definite in
struction, demand compliance, emphasize task performance influence on
decisioons, do not welcome suggestions from them, use coercion, threat and
authority to enforce disciplin and unsure performance.”
Hal
ini berarti gaya kepemimpinan otoriter memiliki ciri-ciri: instruksi secara
pasti, menuntut kerelaan, menekankan pelaksanaan tugas, melakukan pengawasan
tertutup, ijin sangat sedikit, tiada bawahan mempengaruhi keputusan, tiada
saran dari bawahan, memakai paksaan, ancaman dan kekuasaan untuk melaksanakan
disiplin serta menjamin pelaksanaannya.
Gaya
kepemimpinan demokratik, adalah kemampuan mempengaruhi orang lain agar bersedia bekerja
sama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan cara berbagai kegiatan
yang telah ditentukan bersama antara pemimpin dan bawahan. Gaya kepemimpinan
demokratis hasilnya mungkin tidak setinggi gaya otoriter tetapi kualitasnya
lebih tinggi dan terjadi komunikasi antara pemimpin dan bawahan, saling
berpendapat, partisipasi dalam pengambilan keputusan, dan penghargaan hak-hak
seseorang.
Kepemimpinan
gaya kebebasan atau liberal adalah kemampuan mempengaruhi orang lain agar
bersedia bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan cara
berbagai kegiatan dan akan dilakukan atau diserahkan kepada bawahannya. Hick
dan Gullett menyatakan bahwa ciri-ciri kepemimpinan gaya liberal, pemimpin
mencoba melaksanakan sangat sedikit kontrol atau pengaruhterhadap anggota, anggota
menentukan tujuan dan diberi kebebasan untuk memutuskan bagaimana cara
mencapainya.
Dalam
organisasi yang dipimpin dengan gaya demokratis, peran aktif dilakukan baik
oleh pemimpin maupun bawahan secara seimbang. Dengan kepemimpinan gaya demokratis,
kesempatan beperan aktif sangat terbuka, sehingga menimbulkan kepuasan bagi
semua pihak. Organisasi yang dipimpin dengan gaya otokratis, peran aktif hanya
dilakukan satu pihak saja, yaitu pimpinan. Sebaliknya, gaya liberal, peran
aktif hanya dilakukan oleh bawahan saja. Kedua gaya tersebut di atas akan
menimbulkan ketidakpuasan.
Staf
peneliti Ohio merumuskan kepemimpinan sebagai perilaku seorang individu ketika
melakukan kegiatan pengarahan suatu grup ke arah pencapaian tujuan tertentu.
Dalam hal ini pemimpin mempunyai deskripsi perilaku atas dua demensi, yaitu
struktur pembuatan inisiasi (initiating structure) dan perhatian
(concideration).
Struktur
pembuatan inisiatif menunjukkan kepada perilaku pemimpin di dalam menentukan
hubungan kerja antara dirinya dengan yang dipimpin, dan usahanya di dalam
menciptakan pola organisasi, saluran komunikasi, dan prosedur kerja yang jelas.
Adapun perilaku perhatian (concideration), menggambarkan perilaku pemimpin yang
menunjukkan kesetiakawanan, bersahabat, saling mempercayai, dan kehangatan di
dalam hubungan kerja antara pemimpin dan anggota staf. Kedua perilaku inilah
yang digali dan diteliti oleh penelitian Universitas Ohio.
Pusat
penelitian dari Universitas Michigan juga melakukan studi kepemimpinan yang
waktunya hampir bersamaan dengan universitas Ohio. Pada tahun 1961 Rensis
Likert memimpin penelitian dengan tujuan untuk menentukan prinsip-prinsip
produktivitas kelompok, dan kepuasan anggota kelompok yang diperoleh dari
partisipasi mereka. Likert (1967) membagi gaya kepemimpinan menjadi empat
sistem, yaitu: (1) exploitative
authoritative (otokratis pemerasan), (2) benevolent authoritative (otokratis bijak), (3) consultative leadership (kepemimpinan
konsultasi), dan (4) participative group
leadership (kepemimpinan peranserta kelompok).
Otokratis
pemerasan, merupakan gaya kepemimpinan yang menunjukkan bahwa segala masalah
yang timbul dalam organisasi diputuskan oleh pimpinan. Seperti halnya ciri-ciri
kepemimpinan otoriter, gaya otokratis pemerasan juga mengandung ciri-ciri
wewenang mutlak, tidak ada pelimpahan wewenang, cenderung adanya paksaan,
ancaman, hukuman, komunikasi satu arah, perhatian lebih tinggi pada produksi,
mengutamakan keberhasilan tugas, tidak ada kepercayaan pada bawahan, dan tidak
ada perhatian terhadap gagasan bawahan.
Otokratis
bijak, merupakan gaya kepemimpinan yang menunjukkan bahwa sebagian masalah yang
timbul dalam organisasi, diputuskan oleh pemimpin. Dengan demikian sistem (1)
dan (2) ini pada dasarnya sama. Perbedaannya, bawahan sudah diberi kesempatan
menyampaikan gagasannya dan keleluasaan untuk melaksanakan tugas.
Kepemimpinan
konsultasi, merupakan gaya kepemimpinan yang menunjukkan bahwa dalam menetapkan
tujuan, memberi perintah, dan membuat keputusan melalui konsultasi dengan
bawahan. Hal ini berarti bawahan diberi kesempatan untuk berpartisipasi.
Kepemimpinan
peranserta kelompok, merupakan gaya kepemimpinan yang menunjukkan bahwa semua
masalah yang timbul dalam organisasi dipecahkan bersama antara pimpinan dan
bawahan. Gaya kepemimpinan ini, mempercayai bawahan memperhatikan pendapat
bawahan, menciptakan kebersamaan, dan adanya komunikasi dua arah.
Berdasarkan
empat sistem gaya kepemimpinan di atas, maka kepemimpinan peranserta kelompok
merupakan gaya kepemimpinan yang paling tepat untuk mencapai kualitas, baik
dari segi proses maupun produk dalam suatu organisasi.
Studi
kepemimpinan manajerial grid, yang diketuai oleh Robert R. Blake dan Jane S.
Mouton menghasilkan dua aspek penting yang berhubungan dengan aktifitas seorang
manajer, yaitu: produksi dan hubungan antar manusia.
Jika
seorang manajer memikirkan produksi, maka harus dipahami sebagai suatu sikap
bagi seorang pemimpin untuk megetahui berapa luas dan anekanya suatu produksi
itu. Dalam hal ini, ia harus mengetahui kualitas keputusan atau kebijakan-kebijakan
yang diambil, memahami proses dan prosedur, melakukan penelitian dan
kreativitas, memahami kualitas pelayanan stafnya, melakukan efisiensi dalam
bekerja, dan meningkatkan volume dari suatu hasil. Adapun memikirkan tentang orang-orang
dapat diartikan dalam pengertian dan cara yang luas. Hal ini meliputi: komitmen
pribadi terhadap pencapaian tujuan, pertahanan harga diri dari pekerja, memberi
kepercayaan kepada pekerja, pemeliharaan kondisi tempat kerja, dan kepuasan
hubungan antar pribadi.
Menurut
Blake dan Moulton, ada empat gaya kepemimpinan yang dikelompokkan sebagai gaya
yang ekstrim, dan satu gaya yang berada di tengah-tengah gaya ekstrim. Gaya
kepemimpinan yang dimaksud yaitu: (1) manajer sedikit sekali usahanya memikirkan
orang-orang yang bekerja dengannya, dan produksi yang seharusnya dihasilkan
oleh oganisasi. Dalam grid ini manajer dianggap sebagai perantara yang hanya mengkomunikasikan informasi dari
atasan kepada bawahan; (2) manajer mempunyai rasa tanggungjawab yang tinggi
untuk memikirkan baik produksi maupun orang-orang yang bekerja dengannya.
Manajer dalam grid ini dapat dikatakan sebagai manajer tim yang riil (the real tim manager); (3) gaya
kepemimpinan manajer pada grid ini mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi
untuk selalu memikirkan orang-orang yang bekerja dalam organisasi, tetapi
pemikirannya mengenai produksi rendah. Manajer semacam ini sering dinamakan
sebagai pemimpin klub (the country club
management); (4) pada grid ini manajer menjalankan tugas secara otokratis (autocratic task manager), yaitu bahwa
manajer hanya selalu memikirkan tentang peningkatan efisiensi pelaksanaan
kerja, tidak mempunyai atau hanya sedikit rasa tanggung jawab pada orang-orang
yang bekerja dalam organisasinya. Adapun satu gaya yang berada di
tengah-tengah, berusaha mencoba membina moral orang-orang yang bekerja dalam
organisasi, dan produksi dalam tingkatan yang memadai, tidak terlampau
mencolok, artinya tidak menetapkan target terlalu tinggi sehingga hasilnya
sulit dicapai, tetapi berbaik hati mendorong orang-orang untuk bekerja lebih
baik.
Studi
kepemimpinan empat sistem manajemen
adalah sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Rensis Likert pada temuannya di
Universitas Michigan.
Teori X dan teori Y, adalah studi kepemimpinan yang
dibangun oleh Mc Gregor (1966), yang menyatakan bahwa organisasi tradisional
dengan ciri-cirinya yang sentralistik dalam pengambilan keputusan, hubungan
piramida antara atasan dan bawahan, dan pengendalian kerja secara eksternal,
pada hakekatnya sesuai dengan asumsi-asumsi tentang sifat-sifat manusia dan
motivasinya. Teori X menyatakan bahwa sebagian besar orang dalam organisasi
lebih suka diperintah, tidak tertarik akan rasa tanggung jawab, dan
menginginkan rasa aman. Oleh karena itu sebagian besar orang dalam organisasi
perlu diberi motivasi dengan uang, gaji, honorarium, dan perlakukan melalui
sangsi hukum. Dengan demikian manager akan berusaha mempolakan, mengontrol, dan
mengawasi secara langsung kepada bawahannya. Menurut asumsi teori X, bahwa sebagian besar orang dalam organisasi
memiliki sifat-sifat (Miftah Thoha, 1986): (1) tidak menyukai pekerjaan, (2)
tidak menyukai kemauan dan ambisi untuk bertanggung jawab, dan lebih menyukai
diarahkan atau diperintah, (3) mempunyai kemampuan yang kecil untuk berkreasi
mengatasi masalah-masalah organisasi, (4) hanya membutuhkan motivasi fisiologis
dan keamanan saja, dan (5) harus diawasi secara ketat dan sering dipaksa untuk
mencapai tujuan organisasi.
Menurut
Gregor, asumsi teori X di atas secara universal sulit diimplementasikan, bahkan
mungkin banyak yang mengalami kegagalan untuk mencapai tujuan organisasi, sebab
manajemen berdasarkan perintah atau kontrol yang ketat tidak akan banyak
berhasil. Menyadari kelemahan dari
asumsi teori X, maka Gregor memberi alternatif teori yang lain, yaitu teori Y.
Teori ini menyatakan bahwa sebagian besar orang dalam suatu organisasi tidak
malas dan dapat dipercaya. Asumsi teori Y mengenai manusia dalam organisasi
adalah sebagai berikut (Miftah Thoha, 1986):
pekerjaan itu pada hakekatnya seperti bermain dapat memberikan kepuasan
kepada orang. Bekerja dan bermain merupakan aktifitas-aktifitas fisik dan
mental, sehingga di antara keduanya tidak ada perbedaan, jika semua keadaan
sama-sama menyenangkan, (2) manusia dapat mengawasi diri sendiri, dan hal itu
tidak bisa dihindari dalam rangka mencapai tujuan-tujuan organisasi, (3)
kemampuan untuk berkreatifitas di dalam memecahka masalah-masalah organisasi
secara luas didstribusikan kepada
seluruh karyawan, (4) motivasi tidak saja berlaku pada kebtuhan-kebutuhan
sosial, penghargaan dan aktualisasi diri, tetapi juga pada tingkat kebutuhan
fisiologi dan keamanan, (5) orang-orang
dapat mengendalikan diri dan kretif dalam bekerja, jika dimotivasi secara
tepat.
Berdasarkan
kenyataan bahwa tidak ada orang yang bersifat buruk mutlak, ataupun sebaliknya
bersifat baik mutlak, oleh karenanya perlu perpaduan antar keduanya, agar
supaya organisasi dapat berhasil mencapai tujuannya. Dalam hal ini Urwick
(1974) menawarkan teori Z, yang menyatakan bahwa apabila dalam kondisi kerja
yang baik, pengarahan dilakukan melalui perpaduan teori X dan teori Y. Artinya,
pada suatu ketika, seorang pemimpin memang harus menggunakan cara yang halus,
hanya sedikit mengontrol, memerintah dengan sikap permintaan, kesukarelaan
bersifat bertanya, tetapi pada kesempatan yang lain seorang pemimpin harus
berani bertindak tegas, melakukan kontrol secara ketat, memerintah,
menyalahkan, dan menghukum. Teori Z juga dikemukakan oleh Ouchi, yang
menyatakan bahwa produktivitas akan meningkat apabila melibatkan para pekerja.
3.Pendekatan Kontingensi
Pendekatan
kontingensi juga sering disebut pendekatan situasional (situational
approach), terdiri dari berbagai macam model, antara lain: model
kepemimpinan kontingensi dari Fiedler, model tiga demensi kepemimpinan dari
Reddin, model kontinum kepemimpinan dari Tannenbaum dan Schmidt, model kontinum
kepemimpinan berdasarkan banyaknya peran serta bawahan dalam pembuatan
keputusan dari Yetton, model kontingensi lima faktor dari Farris, model
kepemimpinan dinamika kelompok dari Cartwright dan Zander, model kepemimpinan
path-goal dari vans dan House, model kepemimpinan vertikal Dyad Linkage dari
Grean, model kepemimpinan sistem dari Bass, dan model kepemimpinan situasional dari
Hersey dan Blanchard.
Model
kepemimpinan berdasarkan pendekatan kontingensi atau pendekatan situasional,
model kontinum kepemimpinan Tannenbaum dan Schmidt, model kepemimpinan path
goal dari Evans dan House, model kepemimpinan situasional dari Hersey dan
Blanchard perlu mendapat kajian mendalam.
Menurut
Tannenbaum dan Schmidt, ada tiga
faktor yang harus dipertimbangkan dalam memilih gaya kepemimpinan, yaitu:
kekuatan pemimpin, kekuatan bawahan, dan kekuatan situasi. Model kontinum
merupakan satu garis yang diawali dengan titik yang menunjukkan perilaku
terpusat pada pemimpin, dan diakhiri dengan titik yang menujukkan perilaku yang
terpusat pada bawahan.
Model
kepemimpinan path-goal dari Evans dan
House, menyatakan bahwa motivasi individu didasarkan pada harapan atas
imbalan yang menarik. Pendekatan ini menitikberatkan pada pemimpin sebagai
sumber imbalan. Pemimpin memiliki sejumlah syarat untuk mempengaruhi bawahan.
Dalam hal ini yang sangat penting adalah kemampuan menajer untuk memberikan imbalan
dan menjelaskan apa yang bawahan harus kerjakan untuk memperoleh imbalan
tersebut. Menurut pendekatan ini ada dua macam variabel yang menentukan gaya
kepemimpinan yang efektif, yaitu: ciri-ciri pribadi bawahan, dan tekanan
lingkungan atau tuntutan di tempat kerja.
Di
samping itu dibedakan juga empat gaya kepemimpinan, yaitu: pemimpin pengarah (leader directiveness), pemimpin
pendukung (leadersupportiveness), kepemimpinan peranserta
(participative leadership), dan
kepemimpinan berorientasi prestasi (achievement
orientedleadership).
Model
kepemimpinan situasional dari Hersey dan Blanchard, didasarkan pada saling
pengaruh antara sejumlah petunjuk dan pengarahan (perilaku tugas) yang pemimpin
berikan; dan tingkat kesiapsiagaan (kematangan) yang para bawahan tunjukkan
dalam melaksanakan tugas khusus, fungsi atau sasaran.
Hersey
dan Blanchard membedakan empat gaya kepemimpinan, yaitu: (1) Telling, merupakan gaya kepemimpinan yang memiliki ciri-ciri:
tinggi tugas-rendah hubungan, pemimpin memberikan perintah khusus, pengawasan
dilakukan secara ketat, dan pimpinan menerangkan kepada bawahan apa yang harus
dikerjakan, bagaimana cara mengerjakan, kapan harus dilaksanakan pekerjaan itu,
dan di mana pekerjaan itu harus dilakukan. (2) Selling, merupakan gaya kepemimpinan yang memiliki ciri-ciri:
tinggi tugas dan hubungan, pemimpin menerangkan keputusan, pemimpin memberikan
kesempatan untuk penjelasan, pemimpin masih banyak melakukan pengarahan, dan
pemimpin mulai melakukan komunikasi dua arah. (3) Participating, merupakan gaya kepemimpinan yang memiliki
ciri-ciri: tinggi hubungan dan rendah tugas, pemmpin dan bawahan saling
memberikan gagasan, pemimpin dan bawahan bersama- sama membuat keputusan. (4) Delegating, merupakan gaya kepemimpinan
yang memiliki ciri-ciri: rendah hubungan dan rendah tugas, dan pemimpin
melimpahkan pembuatan keputusan dan pelaksanaan kepada bawahan.
B.Gaya Kepemimpinan
Pada
bagian ini akan dibahas beberapa gaya kepemimpinan atau Leadership style, yang banyak mempengaruhi keberhasilan seorang
pemimpin dalam mempengaruhi perilaku anggotanya. Istilah gaya kepemimpinan oleh
Kartini Kartono (1991) didefinisikan sebagai cara bekerja atau bertingkah laku
dari seorang pemimpin dalam membimbing para bawahannya untuk berbuat sesuatu.
Sukarna (1990) mengatakan bahwa gaya kepemimpinan adalah pendekatan atau
cara-cara orang memimpin, di mana dalam melaksanakan kepemimpinannya digunakan
berbagai gaya; ada yang main perintah, ada yang selalu berunding lebih dulu,
dan ada pula yang selalu menyerahkan keputusannya kepada orang lain atau
bawahannya.
Miftah
Thoha (1983) mendefinisikan gaya kepemimpinan sebagai cara yang dipergunakan
pemimpin dalam mempengaruhi pengikutnya. Menurutnya, ada dua jenis gaya kepemimpinan, yaitu (1) gaya otokratik dan (2) gaya demokratik. G aya otokratik adalah gaya kepemimpinan yang
berdasar atas kekuatan posisi dan penggunaan otoritas, sedangkan gaya
demokratik adalah gaya kepemimpinan yang dikaitkan dengan kekuatan personal dan
keikutsertaan pengikut dalam proses pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.
Di
samping dua gaya tersebut, Davis dan Newstrom (1990) menambahkan gaya partisipatif dan gaya bebas kendali. Gaya partisipaif
yaitu gaya kepemimpinan di mana keputusan dibuat berdasarkan upaya konsultasi
dengan para pengikut dan keikutsertaan mereka. Gaya bebas kendali yaitu gaya
kepemimpinan di mana para pemimpin menghindari kekuasaan dan tanggung jawab.
Pemimpin amat bergantung dengan kelompok untuk menetapkan tujuan dan
menanggulangi masalahnya sendiri.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan adalah pendekatan atau cara
yang digunakan oleh seorang pemimpin
dalam melaksanakan fungsi kepemipinannya. Ada bermacam cara atau gaya
kepemimpinan, yaitu:
1.Gaya
kepemimpinan otokratik,
adalah gaya kepemimpinan di mana pengambilan keputusan biasanya dilakukan oleh
diri pemimpin itu sendiri. Ada dua jenis otokratik, yaitu otokratik negatif, di
mana pemimpin suka menakut-nakuti bawahan, mengancam dan sering memberi
hukuman. Otokratik positif, pemimpin dalam melakukan fungsi kepemimpinannya,
lebih suka menggunakan hadiah maupun ganjaran pada bawahannya. Gaya otokratik identik
dengan gaya kepemimpinan (1) task
oriented, kepemimpinan yang berorientasi pada terselesaikannya tugas; (2) authoritarian, yaitu kekuasaan yang
memusat pada diri pemimpin; (3) initiating
leadership, yaitu gaya kepemimpinan di mana prakarsa dan inisiatif harus
tumbuh dari pimpinan; dan (4) supervisory, yaitu gaya kepemmpinan di mana
pemimpin selalu mengawasi bawahannya.
2.Gaya
kepemimpinan demokratik, adalah
gaya kepemimpinan di mana keputusan tidak atas kehendak pemimpin itu sendiri,
tetapi didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan yang disampaikan bawahannya,
sehingga keputusannya itu tepat dan mengenai sasaran serta mendapat dukungan
dari bawahannya.
Karena anggota
turut ambil bagian dalam pengambilan keputusan, maka kepuasan lebih terjamin,
anggota lebih senang, menjadikan hubungan antar manusia antara pimpinan dengan
anggota berjalan dengan baik.
Dalam kontek ini,
tampaknya gaya demokratik lebih berorientasi pada hubungan baik (relationship oriented). Sifat
kepemimpinan seperti ini banyak memberi kesempatan kepada semua anggota untuk
berpartisipasi memberikan input dalam pengambilan keputusan. leadership (hubungan pemimpin dengan
anggota), yaitu suatu gaya kepemimpinan di mana suatu keputusan lebih banyak
dilakukan oleh anggota, sehingga apabila dalam memutuskan ada yang kalah suara,
mereka tidak akan mengurangi hubungan dengan pimpinan, tetapi hanya dengan yang
mengalahkan suara itu saja. Dengan keputusan bersama itu maka hubungan pemimpin
dengan anggota tetap berlangsung dengan baik; (2) equalitarian, yaitu gaya kepemimpinan di mana pemimpin dan
anggotanya sama-sama dalam suara. Pemimpin hanya menentukan prosedur
pengambilan keputusan saja, tetapi yang mengambil keputusan adalah para
anggotanya; (3) grouporiented, yaitu gaya kepemimpinan di
mana kepemimpinannya berorientasi pada kelompoknya; (4) permisive leadership, yaitu gaya kepemimpinan yang memberi
kesempatan sama kepada anggota. Jika ada keberatan, maka keputusan diambil oleh
semua anggota; dan (5) considereate,
yaitu gaya kepemimpinan yang penuh dengan pertimbangan, misalnya didasari atas
usul-usul, saran, keluhan, laporan yang lalu, dan sebagainya.
Dalam kenyataanya,
tidak ada gaya kepemimpinan yang otokratik sepenuhnya maupun demokratik
sepenuhnya. Kepemimpinan itu selalu berada di antara dua kutub garis kontinum
seperti dalam gambar 2.
3.Gaya
kepemimpinan laissez faire, yaitu
gaya kepemimpinan di mana pemimpin sepenuhnya meletakkan tanggung jawab dalam
pengambil keputusan kepada bawahan. Pemimpin hanya menunggu. Jika ada yang
datang mereka memberikan petunjuk, sebaliknya jika tidak ada yang dibiarkan
saja.
Kelemahan gaya ini
adalah bahwa pengambilan keputusan bias lambat ataupun terlantar, sedangkan
kebaikannya, adalah dapat menumbuh-kan kepemimpinan alami.