Penayangan bulan lalu

Rabu, 02 Mei 2012

PENDEKATAN DAN GAYA KEPEMIMPINAN


PENDEKATAN DAN GAYA KEPEMIMPINAN



A.   Pendekatan Kepemimpinan
Bilamana dianalisis secara mendalam, setidaknya terdapat tiga pendekatan kepemimpinan, yaitu: (1) Pendekatan sifat, (2) Pendekatan perilaku, dan (3) Pendekatan kontingensi.

1.   Pendekatan  Sifat
Secara historis, mula-mula timbul pemikiran bahwa pemipin itu dilahirkan, bukan dibentuk atau karena pengalaman. Pemikiran ini disebut Hereditary  (turun-temurun). Namun demikian, kemudian muncul teori baru, yaitu teori Physical characteristic. Teori ini dikemukakan oleh Sheldon, bahwa ada 76 tipe struktur badan yang berhubungan dengan perbedaan temperamen dan kepribadian. Perkembangan terakhir menyatakan bahwa pemimpin itu dapat dibentuk atau dilatih.
Sebagai contoh dari pendekatan sifat adalah menurut Thierauf, Klekamp, dan Geeding (1977: 493), yang menyatakan bahwa pemimpin memiliki ciri-ciri: kecerdasan, inisiatif, daya khayal, bersemangat, harapan baik, keberanian, keaslian, kesediaan menerima, kemampuan berkomuniasi, rasa perlakuan yang wajar terhadap semua orang, kepribadian, keuletan, manusiawi, kemampuan mengawasi, dan ketenangan diri. Terry (1972: 470) merinci bahwa pemimpin memiliki ciri-ciri: kecerdasan, inisiatif, kekuatan dan dorongan, kematangan perasaan, meyakinkan, kemahiran berkomunikasi, ketenangan diri, cerdik, daya cipta, dan berperan serta dalam pergaulan. Stogdill (1984) menyatakan bahwa pemimpin memiliki ciri-ciri: kecerdasan, berilmu, dapat diandalkan dalam pelaksanaan pertanggungjawaban, aktifitas dan peran serta sosial, dan status sosial ekonomi. Treeman dan Taylor (1950) juga menyatakan bahwa seorang pemimpin memiliki sifat: tekun, giat, keras hati, bercita-cita, kuat, berani, kerja sama, percaya diri, tenang, riang, berjiwa matang, efisien, cerdas, berbakat, banyak akal, penuh daya khayal, mendahulukan kepentingan orang lain, tidak mementingkan diri sendiri, setia kepada cita-cita berakhlak, dan lapang dada (sabar).
Feldman dan Arnold (1983) menyatakan bahwa seorang pemimpin dituntut memiliki (1) sifat-sifat pribadi: penyesuaian diri, giat dan tegas, berpengaruh, keseimbangan jiwa dan kontrol, kebebasan (tidak penurut), keaslian dan daya cipta, kejujuran pribadi, dan percaya diri; (2) kemampuan: kecerdasan, pertimbangan, membuat keputusan, pengetahuan luas, pandai berkomunikasi ; dan (3) kemahiran sosial: kemampuan bekerja sama, kemampuan administrasi, populis dan berwibawa, suka bergaul, peran serta sosial, dan kebijaksanaan serta pandai berdiplomasi. Sutarto (1998) menyatakan bahwa sifat-sifat yang sebaiknya dimiliki oleh seorang pemimpin adalah: taqwa, sehat, cakap, jujur, tegas, setia, cerdik, berani, berilmu, efisien, disiplin, manusiawi, bijaksana, bersemangat, percaya diri, berjiwa matang, bertindak adil, berkemauan keras, daya cipta asli, berwawasan situasi, berpengharapan baik, mampu berkomunikasi, berdaya tanggap tajam, mampu menyusun rencana, mampu melakukan kontrol, bermotivasi kerja sehat, memiliki tanggung  jawab, satunya kata dan perbuatan, dan mendahulukan kepentingan orang lain. Fakri Gaffar (2002) menyatakan bahwa  manajer pendidikan dituntut memiliki karakteristik, yaitu memiliki wawasan nasional, wawasan daerah, dan wawasan global, memiliki komitmen dan kemauan tinggi untuk membangun pendidikan untuk kepentingan masyarakat daerah, dan masyarakat bangsa; memiliki cinta bangsa yang amat mendalam tanpa membedakan asal suku, agama, tempat tinggal, status ekonomi, gender, dan warna kulit; memiliki sikap terbuka, dan sikap menerima kenyataan hidup yang dihadapi dengan penuh cermat dan hati-hati; memeliki akhlak yang mulia, dan iman taqwa yang kuat; memiliki sikap profesionalisme yang tinggi; memiliki cinta lingkungan hidup; memiliki rasa hormat kepada setiap orang sebagai manusia; memiliki keikhlasan dan kesabaran untuk melaksanakan fungsinya sebagai pimpinan; memiliki pemahaman yang memadai tentang manajemen, tentang pendidikan, tentang teknologi informasi termasuk komputer, dan memiliki sikap akademik yang integratif.
Pendekatan sifat tentang kepemimpinan bersifat tidak absolut sebab tak seorangpun yang bisa memiliki sifat-sifat secara lengkap dan utuh, bahkan situasi yang dihadapi organisasi berbeda satu sama lain, sehingga setiap organisasi menuntut keberadaan sifat-sifat kepemimpinan yang berbeda. Dalam hal ini Freeman and Taylor (1950) menyampaikan ciri-ciri pemimpin yang seharusnya ada pada pribadi pemimpin, dan sifat-sifat yang seharusnya tidak ada pada seorang pemimpin. Sifat-sifat tersebut dapat dilihat pada tabel 1.

2.   Pendekatan Perilaku
Pendekatan perilaku terhadap kepemimpinan didasarkan pada suatu pemikiran bahwa keberhasilan pemimpin ditentukan oleh gaya bersikap dan gaya bertindak pemimpin yang bersangkutan. Gaya bersikap dan bertindak akan tampak dari: cara melakukan suatu pekerjaan, cara memberikan perintah, cara memberi tugas, cara berkomunikasi, cara membuat keputusan, cara mendorong semangat bawahannya, cara memberikan bimbingan, cara menegakkan disiplin, cara memimpin rapat, cara mengawasi pekerjaan bawahan, cara menegur kesalahan bawahan. Berdasarkan pengamatan pada gaya bersikap dan bertindak, seorang pemimpin dikatakan memiliki gaya kepemimpinan otoriter, atau demokratik.
Pendekatan perilaku yang melahirkan beberapa teori gaya kepemimpinan, penelitiannya telah dilakukan oleh: Universitas Iowa, Universitas Ohio, Universitas Michigan, studi managerial Grid, teori empat sistem manajemen, serta teori X dan Y.

Tabel 1. Sifat-sifat yang Harus dan Tidak Harus Dimiliki Pemimpin
Pemimpin Seyogyanya
Pemimpin Tidak Seyogyanya
1.    Rajin
2.    Giat
3.    Keras hati
4.    Kuat
5.    Berani
6.    Bekerja sama
7.    Yakin diri (tenang)
8.    Riang
9.    Matang emosi
10.  Efisien
11.  Cerdas
12.  Berbakat
13.  Banyak akal
14.  Penuh daya khayal
15.  Mengutamakan orang lain
16.  Tak mementingkan diri
17.  Setia pada cita-cita
18.  Susila
19.  Lapang dada
20. Adil

1.    Malas
2.    Keras kepala
3.    Tidak konsisten
4.    Menunda-nunda
5.    Malu
6.    Pengecut
7.    Tidak mau mundur
8.    Gelisah
9.    Kaku
10. Tidak matang
11. Gegabah
12. Tak berdaya jika ditekan
13. Melarikan diri (jemu)
14. Beralasan bebas dari salah
15. Tak bermutu
16. Sombong
17. Fanatik
18. Bandel
19. Tak masuk akal
20. Asusila

Studi kepemimpinan Universitas Iowa merumuskan tiga gaya kepemimpinan: (1) authoritarian (otoriter), autocratic (otokratis), dictatorial (diktator); (2) demokratic (demokratis); dan (3) laiseez faire (kebebasan), free-rein (bebas kendali), dan libertarian (kebebasan).
Beberapa ciri gaya otoriter oleh Agarval (1982) dinyatakan bahwa “authocatic or authoritarian: These kind of leader give definite in struction, demand compliance, emphasize task performance influence on decisioons, do not welcome suggestions from them, use coercion, threat and authority to enforce disciplin and unsure performance.”
Hal ini berarti gaya kepemimpinan otoriter memiliki ciri-ciri: instruksi secara pasti, menuntut kerelaan, menekankan pelaksanaan tugas, melakukan pengawasan tertutup, ijin sangat sedikit, tiada bawahan mempengaruhi keputusan, tiada saran dari bawahan, memakai paksaan, ancaman dan kekuasaan untuk melaksanakan disiplin serta menjamin pelaksanaannya.
Gaya kepemimpinan demokratik, adalah kemampuan  mempengaruhi orang lain agar bersedia bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan cara berbagai kegiatan yang telah ditentukan bersama antara pemimpin dan bawahan. Gaya kepemimpinan demokratis hasilnya mungkin tidak setinggi gaya otoriter tetapi kualitasnya lebih tinggi dan terjadi komunikasi antara pemimpin dan bawahan, saling berpendapat, partisipasi dalam pengambilan keputusan, dan penghargaan hak-hak seseorang.
Kepemimpinan gaya kebebasan atau liberal adalah kemampuan mempengaruhi orang lain agar bersedia bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan cara berbagai kegiatan dan akan dilakukan atau diserahkan kepada bawahannya. Hick dan Gullett menyatakan bahwa ciri-ciri kepemimpinan gaya liberal, pemimpin mencoba melaksanakan sangat sedikit kontrol atau pengaruhterhadap anggota, anggota menentukan tujuan dan diberi kebebasan untuk memutuskan bagaimana cara mencapainya.

Dalam organisasi yang dipimpin dengan gaya demokratis, peran aktif dilakukan baik oleh pemimpin maupun bawahan secara seimbang. Dengan kepemimpinan gaya demokratis, kesempatan beperan aktif sangat terbuka, sehingga menimbulkan kepuasan bagi semua pihak. Organisasi yang dipimpin dengan gaya otokratis, peran aktif hanya dilakukan satu pihak saja, yaitu pimpinan. Sebaliknya, gaya liberal, peran aktif hanya dilakukan oleh bawahan saja. Kedua gaya tersebut di atas akan menimbulkan ketidakpuasan.
Staf peneliti Ohio merumuskan kepemimpinan sebagai perilaku seorang individu ketika melakukan kegiatan pengarahan suatu grup ke arah pencapaian tujuan tertentu. Dalam hal ini pemimpin mempunyai deskripsi perilaku atas dua demensi, yaitu struktur pembuatan inisiasi (initiating structure) dan perhatian (concideration).
Struktur pembuatan inisiatif menunjukkan kepada perilaku pemimpin di dalam menentukan hubungan kerja antara dirinya dengan yang dipimpin, dan usahanya di dalam menciptakan pola organisasi, saluran komunikasi, dan prosedur kerja yang jelas. Adapun perilaku perhatian (concideration), menggambarkan perilaku pemimpin yang menunjukkan kesetiakawanan, bersahabat, saling mempercayai, dan kehangatan di dalam hubungan kerja antara pemimpin dan anggota staf. Kedua perilaku inilah yang digali dan diteliti oleh penelitian Universitas Ohio.
Pusat penelitian dari Universitas Michigan juga melakukan studi kepemimpinan yang waktunya hampir bersamaan dengan universitas Ohio. Pada tahun 1961 Rensis Likert memimpin penelitian dengan tujuan untuk menentukan prinsip-prinsip produktivitas kelompok, dan kepuasan anggota kelompok yang diperoleh dari partisipasi mereka. Likert (1967) membagi gaya kepemimpinan menjadi empat sistem, yaitu: (1) exploitative authoritative (otokratis pemerasan), (2) benevolent authoritative (otokratis bijak), (3) consultative leadership (kepemimpinan konsultasi), dan (4) participative group leadership (kepemimpinan peranserta kelompok).
Otokratis pemerasan, merupakan gaya kepemimpinan yang menunjukkan bahwa segala masalah yang timbul dalam organisasi diputuskan oleh pimpinan. Seperti halnya ciri-ciri kepemimpinan otoriter, gaya otokratis pemerasan juga mengandung ciri-ciri wewenang mutlak, tidak ada pelimpahan wewenang, cenderung adanya paksaan, ancaman, hukuman, komunikasi satu arah, perhatian lebih tinggi pada produksi, mengutamakan keberhasilan tugas, tidak ada kepercayaan pada bawahan, dan tidak ada perhatian terhadap gagasan bawahan.
Otokratis bijak, merupakan gaya kepemimpinan yang menunjukkan bahwa sebagian masalah yang timbul dalam organisasi, diputuskan oleh pemimpin. Dengan demikian sistem (1) dan (2) ini pada dasarnya sama. Perbedaannya, bawahan sudah diberi kesempatan menyampaikan gagasannya dan keleluasaan untuk melaksanakan tugas.
Kepemimpinan konsultasi, merupakan gaya kepemimpinan yang menunjukkan bahwa dalam menetapkan tujuan, memberi perintah, dan membuat keputusan melalui konsultasi dengan bawahan. Hal ini berarti bawahan diberi kesempatan untuk berpartisipasi.
Kepemimpinan peranserta kelompok, merupakan gaya kepemimpinan yang menunjukkan bahwa semua masalah yang timbul dalam organisasi dipecahkan bersama antara pimpinan dan bawahan. Gaya kepemimpinan ini, mempercayai bawahan memperhatikan pendapat bawahan, menciptakan kebersamaan, dan adanya komunikasi dua arah.
Berdasarkan empat sistem gaya kepemimpinan di atas, maka kepemimpinan peranserta kelompok merupakan gaya kepemimpinan yang paling tepat untuk mencapai kualitas, baik dari segi proses maupun produk dalam suatu organisasi.
Studi kepemimpinan manajerial grid, yang diketuai oleh Robert R. Blake dan Jane S. Mouton menghasilkan dua aspek penting yang berhubungan dengan aktifitas seorang manajer, yaitu: produksi dan hubungan antar manusia.
Jika seorang manajer memikirkan produksi, maka harus dipahami sebagai suatu sikap bagi seorang pemimpin untuk megetahui berapa luas dan anekanya suatu produksi itu. Dalam hal ini, ia harus mengetahui kualitas keputusan atau kebijakan-kebijakan yang diambil, memahami proses dan prosedur, melakukan penelitian dan kreativitas, memahami kualitas pelayanan stafnya, melakukan efisiensi dalam bekerja, dan meningkatkan volume dari suatu hasil. Adapun memikirkan tentang orang-orang dapat diartikan dalam pengertian dan cara yang luas. Hal ini meliputi: komitmen pribadi terhadap pencapaian tujuan, pertahanan harga diri dari pekerja, memberi kepercayaan kepada pekerja, pemeliharaan kondisi tempat kerja, dan kepuasan hubungan antar pribadi.
Menurut Blake dan Moulton, ada empat gaya kepemimpinan yang dikelompokkan sebagai gaya yang ekstrim, dan satu gaya yang berada di tengah-tengah gaya ekstrim. Gaya kepemimpinan yang dimaksud yaitu: (1) manajer sedikit sekali usahanya memikirkan orang-orang yang bekerja dengannya, dan produksi yang seharusnya dihasilkan oleh oganisasi. Dalam grid ini manajer dianggap sebagai perantara yang hanya mengkomunikasikan informasi dari atasan kepada bawahan; (2) manajer mempunyai rasa tanggungjawab yang tinggi untuk memikirkan baik produksi maupun orang-orang yang bekerja dengannya. Manajer dalam grid ini dapat dikatakan sebagai manajer tim yang riil (the real tim manager); (3) gaya kepemimpinan manajer pada grid ini mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi untuk selalu memikirkan orang-orang yang bekerja dalam organisasi, tetapi pemikirannya mengenai produksi rendah. Manajer semacam ini sering dinamakan sebagai pemimpin klub (the country club management); (4) pada grid ini manajer menjalankan tugas secara otokratis (autocratic task manager), yaitu bahwa manajer hanya selalu memikirkan tentang peningkatan efisiensi pelaksanaan kerja, tidak mempunyai atau hanya sedikit rasa tanggung jawab pada orang-orang yang bekerja dalam organisasinya. Adapun satu gaya yang berada di tengah-tengah, berusaha mencoba membina moral orang-orang yang bekerja dalam organisasi, dan produksi dalam tingkatan yang memadai, tidak terlampau mencolok, artinya tidak menetapkan target terlalu tinggi sehingga hasilnya sulit dicapai, tetapi berbaik hati mendorong orang-orang untuk bekerja lebih baik.
Studi kepemimpinan empat sistem manajemen adalah sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Rensis Likert pada temuannya di Universitas Michigan.
Teori X dan teori Y, adalah studi kepemimpinan yang dibangun oleh Mc Gregor (1966), yang menyatakan bahwa organisasi tradisional dengan ciri-cirinya yang sentralistik dalam pengambilan keputusan, hubungan piramida antara atasan dan bawahan, dan pengendalian kerja secara eksternal, pada hakekatnya sesuai dengan asumsi-asumsi tentang sifat-sifat manusia dan motivasinya. Teori X menyatakan bahwa sebagian besar orang dalam organisasi lebih suka diperintah, tidak tertarik akan rasa tanggung jawab, dan menginginkan rasa aman. Oleh karena itu sebagian besar orang dalam organisasi perlu diberi motivasi dengan uang, gaji, honorarium, dan perlakukan melalui sangsi hukum. Dengan demikian manager akan berusaha mempolakan, mengontrol, dan mengawasi secara langsung kepada bawahannya. Menurut asumsi teori X,  bahwa sebagian besar orang dalam organisasi memiliki sifat-sifat (Miftah Thoha, 1986): (1) tidak menyukai pekerjaan, (2) tidak menyukai kemauan dan ambisi untuk bertanggung jawab, dan lebih menyukai diarahkan atau diperintah, (3) mempunyai kemampuan yang kecil untuk berkreasi mengatasi masalah-masalah organisasi, (4) hanya membutuhkan motivasi fisiologis dan keamanan saja, dan (5) harus diawasi secara ketat dan sering dipaksa untuk mencapai tujuan organisasi.
Menurut Gregor, asumsi teori X di atas secara universal sulit diimplementasikan, bahkan mungkin banyak yang mengalami kegagalan untuk mencapai tujuan organisasi, sebab manajemen berdasarkan perintah atau kontrol yang ketat tidak akan banyak berhasil. Menyadari  kelemahan dari asumsi teori X, maka Gregor memberi alternatif teori yang lain, yaitu teori Y. Teori ini menyatakan bahwa sebagian besar orang dalam suatu organisasi tidak malas dan dapat dipercaya. Asumsi teori Y mengenai manusia dalam organisasi adalah sebagai berikut (Miftah Thoha, 1986):  pekerjaan itu pada hakekatnya seperti bermain dapat memberikan kepuasan kepada orang. Bekerja dan bermain merupakan aktifitas-aktifitas fisik dan mental, sehingga di antara keduanya tidak ada perbedaan, jika semua keadaan sama-sama menyenangkan, (2) manusia dapat mengawasi diri sendiri, dan hal itu tidak bisa dihindari dalam rangka mencapai tujuan-tujuan organisasi, (3) kemampuan untuk berkreatifitas di dalam memecahka masalah-masalah organisasi secara luas didstribusikan  kepada seluruh karyawan, (4) motivasi tidak saja berlaku pada kebtuhan-kebutuhan sosial, penghargaan dan aktualisasi diri, tetapi juga pada tingkat kebutuhan fisiologi  dan keamanan, (5) orang-orang dapat mengendalikan diri dan kretif dalam bekerja, jika dimotivasi secara tepat.
Berdasarkan kenyataan bahwa tidak ada orang yang bersifat buruk mutlak, ataupun sebaliknya bersifat baik mutlak, oleh karenanya perlu perpaduan antar keduanya, agar supaya organisasi dapat berhasil mencapai tujuannya. Dalam hal ini Urwick (1974) menawarkan teori Z, yang menyatakan bahwa apabila dalam kondisi kerja yang baik, pengarahan dilakukan melalui perpaduan teori X dan teori Y. Artinya, pada suatu ketika, seorang pemimpin memang harus menggunakan cara yang halus, hanya sedikit mengontrol, memerintah dengan sikap permintaan, kesukarelaan bersifat bertanya, tetapi pada kesempatan yang lain seorang pemimpin harus berani bertindak tegas, melakukan kontrol secara ketat, memerintah, menyalahkan, dan menghukum. Teori Z juga dikemukakan oleh Ouchi, yang menyatakan bahwa produktivitas akan meningkat apabila melibatkan para pekerja.
                
3.   Pendekatan Kontingensi
Pendekatan kontingensi juga sering disebut pendekatan situasional  (situational approach), terdiri dari berbagai macam model, antara lain: model kepemimpinan kontingensi dari Fiedler, model tiga demensi kepemimpinan dari Reddin, model kontinum kepemimpinan dari Tannenbaum dan Schmidt, model kontinum kepemimpinan berdasarkan banyaknya peran serta bawahan dalam pembuatan keputusan dari Yetton, model kontingensi lima faktor dari Farris, model kepemimpinan dinamika kelompok dari Cartwright dan Zander, model kepemimpinan path-goal dari vans dan House, model kepemimpinan vertikal Dyad Linkage dari Grean, model kepemimpinan sistem dari Bass, dan model kepemimpinan situasional dari Hersey dan Blanchard.
Model kepemimpinan berdasarkan pendekatan kontingensi atau pendekatan situasional, model kontinum kepemimpinan Tannenbaum dan Schmidt, model kepemimpinan path goal dari Evans dan House, model kepemimpinan situasional dari Hersey dan Blanchard perlu mendapat kajian mendalam.
Menurut Tannenbaum dan Schmidt, ada tiga faktor yang harus dipertimbangkan dalam memilih gaya kepemimpinan, yaitu: kekuatan pemimpin, kekuatan bawahan, dan kekuatan situasi. Model kontinum merupakan satu garis yang diawali dengan titik yang menunjukkan perilaku terpusat pada pemimpin, dan diakhiri dengan titik yang menujukkan perilaku yang terpusat pada bawahan.
Model kepemimpinan path-goal dari Evans dan House, menyatakan bahwa motivasi individu didasarkan pada harapan atas imbalan yang menarik. Pendekatan ini menitikberatkan pada pemimpin sebagai sumber imbalan. Pemimpin memiliki sejumlah syarat untuk mempengaruhi bawahan. Dalam hal ini yang sangat penting adalah kemampuan menajer untuk memberikan imbalan dan menjelaskan apa yang bawahan harus kerjakan untuk memperoleh imbalan tersebut. Menurut pendekatan ini ada dua macam variabel yang menentukan gaya kepemimpinan yang efektif, yaitu: ciri-ciri pribadi bawahan, dan tekanan lingkungan atau tuntutan di tempat kerja.
Di samping itu dibedakan juga empat gaya kepemimpinan, yaitu: pemimpin pengarah (leader directiveness), pemimpin pendukung (leader supportiveness), kepemimpinan peranserta (participative leadership), dan kepemimpinan berorientasi prestasi (achievement oriented leadership).
Model kepemimpinan situasional dari Hersey dan Blanchard, didasarkan pada saling pengaruh antara sejumlah petunjuk dan pengarahan (perilaku tugas) yang pemimpin berikan; dan tingkat kesiapsiagaan (kematangan) yang para bawahan tunjukkan dalam melaksanakan tugas khusus, fungsi atau sasaran.
Hersey dan Blanchard membedakan empat gaya kepemimpinan, yaitu: (1) Telling, merupakan gaya kepemimpinan yang memiliki ciri-ciri: tinggi tugas-rendah hubungan, pemimpin memberikan perintah khusus, pengawasan dilakukan secara ketat, dan pimpinan menerangkan kepada bawahan apa yang harus dikerjakan, bagaimana cara mengerjakan, kapan harus dilaksanakan pekerjaan itu, dan di mana pekerjaan itu harus dilakukan. (2) Selling, merupakan gaya kepemimpinan yang memiliki ciri-ciri: tinggi tugas dan hubungan, pemimpin menerangkan keputusan, pemimpin memberikan kesempatan untuk penjelasan, pemimpin masih banyak melakukan pengarahan, dan pemimpin mulai melakukan komunikasi dua arah. (3) Participating, merupakan gaya kepemimpinan yang memiliki ciri-ciri: tinggi hubungan dan rendah tugas, pemmpin dan bawahan saling memberikan gagasan, pemimpin dan bawahan bersama- sama membuat keputusan. (4) Delegating, merupakan gaya kepemimpinan yang memiliki ciri-ciri: rendah hubungan dan rendah tugas, dan pemimpin melimpahkan pembuatan keputusan dan pelaksanaan kepada bawahan.

B.   Gaya Kepemimpinan
Pada bagian ini akan dibahas beberapa gaya kepemimpinan atau Leadership style, yang banyak mempengaruhi keberhasilan seorang pemimpin dalam mempengaruhi perilaku anggotanya. Istilah gaya kepemimpinan oleh Kartini Kartono (1991) didefinisikan sebagai cara bekerja atau bertingkah laku dari seorang pemimpin dalam membimbing para bawahannya untuk berbuat sesuatu. Sukarna (1990) mengatakan bahwa gaya kepemimpinan adalah pendekatan atau cara-cara orang memimpin, di mana dalam melaksanakan kepemimpinannya digunakan berbagai gaya; ada yang main perintah, ada yang selalu berunding lebih dulu, dan ada pula yang selalu menyerahkan keputusannya kepada orang lain atau bawahannya.
Miftah Thoha (1983) mendefinisikan gaya kepemimpinan sebagai cara yang dipergunakan pemimpin dalam mempengaruhi pengikutnya. Menurutnya,  ada dua jenis gaya kepemimpinan, yaitu (1) gaya otokratik dan (2) gaya demokratik. G aya otokratik adalah gaya kepemimpinan yang berdasar atas kekuatan posisi dan penggunaan otoritas, sedangkan gaya demokratik adalah gaya kepemimpinan yang dikaitkan dengan kekuatan personal dan keikutsertaan pengikut dalam proses pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.
Di samping dua gaya tersebut, Davis dan Newstrom (1990) menambahkan gaya partisipatif dan gaya bebas kendali. Gaya partisipaif yaitu gaya kepemimpinan di mana keputusan dibuat berdasarkan upaya konsultasi dengan para pengikut dan keikutsertaan mereka. Gaya bebas kendali yaitu gaya kepemimpinan di mana para pemimpin menghindari kekuasaan dan tanggung jawab. Pemimpin amat bergantung dengan kelompok untuk menetapkan tujuan dan menanggulangi masalahnya sendiri.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan adalah pendekatan atau cara yang digunakan oleh  seorang pemimpin dalam melaksanakan fungsi kepemipinannya. Ada bermacam cara atau gaya kepemimpinan, yaitu:
1.    Gaya kepemimpinan otokratik, adalah gaya kepemimpinan di mana pengambilan keputusan biasanya dilakukan oleh diri pemimpin itu sendiri. Ada dua jenis otokratik, yaitu otokratik negatif, di mana pemimpin suka menakut-nakuti bawahan, mengancam dan sering memberi hukuman. Otokratik positif, pemimpin dalam melakukan fungsi kepemimpinannya, lebih suka menggunakan hadiah maupun ganjaran pada bawahannya. Gaya otokratik identik dengan gaya kepemimpinan (1) task oriented, kepemimpinan yang berorientasi pada terselesaikannya tugas; (2) authoritarian, yaitu kekuasaan yang memusat pada diri pemimpin; (3) initiating leadership, yaitu gaya kepemimpinan di mana prakarsa dan inisiatif harus tumbuh dari pimpinan; dan (4) supervisory, yaitu gaya kepemmpinan di mana pemimpin selalu mengawasi bawahannya.
2.    Gaya kepemimpinan demokratik, adalah gaya kepemimpinan di mana keputusan tidak atas kehendak pemimpin itu sendiri, tetapi didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan yang disampaikan bawahannya, sehingga keputusannya itu tepat dan mengenai sasaran serta mendapat dukungan dari bawahannya.
Karena anggota turut ambil bagian dalam pengambilan keputusan, maka kepuasan lebih terjamin, anggota lebih senang, menjadikan hubungan antar manusia antara pimpinan dengan anggota berjalan dengan baik.
Dalam kontek ini, tampaknya gaya demokratik lebih berorientasi pada hubungan baik (relationship oriented). Sifat kepemimpinan seperti ini banyak memberi kesempatan kepada semua anggota untuk berpartisipasi memberikan input dalam pengambilan keputusan. leadership (hubungan pemimpin dengan anggota), yaitu suatu gaya kepemimpinan di mana suatu keputusan lebih banyak dilakukan oleh anggota, sehingga apabila dalam memutuskan ada yang kalah suara, mereka tidak akan mengurangi hubungan dengan pimpinan, tetapi hanya dengan yang mengalahkan suara itu saja. Dengan keputusan bersama itu maka hubungan pemimpin dengan anggota tetap berlangsung dengan baik; (2) equalitarian, yaitu gaya kepemimpinan di mana pemimpin dan anggotanya sama-sama dalam suara. Pemimpin hanya menentukan prosedur pengambilan keputusan saja, tetapi yang mengambil keputusan adalah para anggotanya; (3) group oriented, yaitu gaya kepemimpinan di mana kepemimpinannya berorientasi pada kelompoknya; (4) permisive leadership, yaitu gaya kepemimpinan yang memberi kesempatan sama kepada anggota. Jika ada keberatan, maka keputusan diambil oleh semua anggota; dan (5) considereate, yaitu gaya kepemimpinan yang penuh dengan pertimbangan, misalnya didasari atas usul-usul, saran, keluhan, laporan yang lalu, dan sebagainya.
Dalam kenyataanya, tidak ada gaya kepemimpinan yang otokratik sepenuhnya maupun demokratik sepenuhnya. Kepemimpinan itu selalu berada di antara dua kutub garis kontinum seperti dalam gambar 2.
3.    Gaya kepemimpinan laissez faire, yaitu gaya kepemimpinan di mana pemimpin sepenuhnya meletakkan tanggung jawab dalam pengambil keputusan kepada bawahan. Pemimpin hanya menunggu. Jika ada yang datang mereka memberikan petunjuk, sebaliknya jika tidak ada yang dibiarkan saja.
Kelemahan gaya ini adalah bahwa pengambilan keputusan bias lambat ataupun terlantar, sedangkan kebaikannya, adalah dapat menumbuh-kan kepemimpinan alami.

FUNGSI DAN JENIS KEPEMIMPINAN


Setelah mempelajari dan menyelesaikan tugas-tugas dalam bab ini, Anda diharapkan dapat:
1.          Mengetahui fungsi-fungsi yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin.
2.          Membandingkan fungsi-fungsi pemimpin dari beberapa pakar.
3.    Mengaplikasikan konsep fungsi pemimpin ke dalam praktek kasus latihan kepemimpinan.
4.          Memahami pelbagai jenis atau tipe kepemimpinan.
5.    Menganalisis contoh atau kasus kepemimpinan berdasar analisis jenis kepemimpinan.

A.   Fungsi Kepemimpinan
Kartini kartono (1991) menyatakan bahwa fungsi kepemimpinan adalah memandu, menuntun, membimbing, membangun, memotivasi, mengemudikan, menjalin jaringan-jaringan komunikasi yang baik, melakukan supervisi yang baik dan efisien, serta membawa para pengikutnya kepada sasaran yang hendak dituju. Secara rinci 7 fungsi kepemimpinan oleh beliau dirumuskan sebagai  berikut: (1) memelihara struktur kelompok, menjalin interaksi yang lancar, dan memadukan tuga-tugas; (2) mensinkronkan ide-ide, ideologi, pikiran dan ambisi anggota dengan pola keinginan pemimpin; (3) memberikan rasa aman dan status yang jelas kepada setiap anggota, sehingga mereka bersedia untuk berpartisipasi secara penuh; (4) memanfaatkan dan mengoptimalisasikan kemampuan, bakat dan produktifitas semua anggota untuk berkarya dan berpartisipasi; (5) menegakkan peraturan, larangan, disiplin, dan norma-norma kelompok atau organisasi agar tercapai kohesivitas, meminimalisir konflik dan perbedaan-perbedaan; (6) merumuskan nilai-nilai kelompok atau organisasi dan memilih tujuan-tujuan, sambil menentukan sarana dan strategi operasional pencapaian tujuan; dan (7) mampu memenuhi harapan, keinginan, dan kebutuhan-kebutuhan anggota sehingga mereka puas. Juga membantu adaptasi anggota terhadap tuntutan eksternal di tengah masyarakat, dan memecahkan kesulitan yang dihadapi kelompok atau organisasi.
Yusmar Yusuf (1989) mengidentifikasi fungsi-fungsi kepemimpinan sebagai berikut: (1) pemimpin bertugas mengidentifikasi dan menganalisis tujuan-tujuan kelompok atau organisasi yang berguna untuk memenuhi kebutuhan anggota. Dalam proses identifikasi harus berdasar 4W + 1H (what, why, where, who, dan how); (2) membangun strukstur kelompok/organisasi, mencakup: pembagian tugas, peraturan-peraturan, pembagian tanggung jawab, mengatur peranan, dan mengatur hubungan antar peranan; (3) mengemukakan inisiatif atau prakarsa pada anggotanya, (4) mengemukakan berbagai perbuatan yang berorientasi pada tujuan, (5) menyediakan fasilitas dan sarana komunikasi bagi seluruh anggota yang dipimpinnya, (6) memelihara kekompakkan dan selidaritas kelompok yang dipimpinnya, (7) membangkitkan gairah dan kegembiraan bekerja bagi para anggotanya, menciptakan situasi kondusif untuk melakukan aktifitas di antara masing-masing anggota; (8) memelihara moral dan kebersamaan  (syntality) di antara masing-masing anggota; dan (9) mengembangkan dan memupuk filosofi kelompok atau organisasi, misalnya: gotong-royong, sukarela, senasib sepenanggungan, prima dalam segala hal, disiplin, tertib, bersih, dan sebagainya.
Kiranya dapat dimengerti bahwa efektifitas seorang pemimpin dapat diukur apabila ia memiliki kemampuan untuk: (1) membuat orang lain merasa kuat, (2) menumbuhkan kepercayaan pada diri anggota, (3) membantu, memupuk, dan menumbuhkan hubungan kerja sama antar sesama anggota, (4) memecahkan persengketaan, (5) merangsang perkembangan cara berfikir dan bertingkah laku yang mengarah pada tujuan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa fungsi-fungsi kepemimpinan dalam kelompok maupun organisasi adalah sebagai berikut:
1.    Mengidentifikasi dan menganalisis keadaan kelompok, dan tujuan yang ingin dicapai oleh kelompok. Dalam hal ini, seorang pemimpin harus melakukan identifikasi dan analisis kelompok dan tujuan-tujuannya. Analisis dan identifikasi meliputi: jumlah anggota, kebutuhan, keinginan, sifat-sifat, kekuatan, kelemahan, tujuan, potensi-potensi, dan masalah-masalah yang dihadapi anggotanya.
2.    Membentuk struktur, yaitu membagi pekerjaan atau tugas pada bagian-bagian atau orang-orang tertentu. Pengaturan kegiatan dan pekerjaan tidak hanya sekedar yang terdapat dalam bagan organisasi, akan tetapi mencakup pula peranan dan batasannya, sehingga setiap anggota mengetahui tugas, dan pilihan cara mencapainya.
3.    Mengambil inisiatif atau mengambil prakarsa, dalam hal ini pemimpin bukan hanya sumber gagasan, tetapi juga menampung gagasan-gagasan yang baik, kemudian menjadi kegiatan kelompok atau organisasi. Dalam hal tidak ada orang lain yang mempunyai prakarsa, pemimpin harus berinisiatif. Pemimpin dengan demikian harus siap melakukan legitimasi kegiatan yang memang dianggap baik, walaupun inisiatif datang dari anggota.
4.    Memotivasi anggota untuk mencapai tujuan, dalam hal ini seorang pemimpin tidak boleh berhenti memotivasi  anggotanya. Pemimpin harus melakukan berbagai  usaha  ke arah pencapaian tujuan dan harus selalu berkeinginan dan berinteraksi dengan yang lain agar seluruh anggota giat beraktifitas. Gagasan baru tidak harus selalu datang dari pemimpin, akan tetapi pemimpin harus mampu mengakomodasi ide-ide dari semua anggota, sepanjang gagasan itu untuk pencapaian tujuan. Sebagai pemimpin harus selalu mengingatkan anggota, apabila arah dan sasaran kegiatannya menyimpang dari tujuan.  
5.    Memberi kemudahan dalam berkomunikasi, maksudnya bahwa dalam suatu kelompok atau organisasi perlu disediakan fasilitas komunikasi, baik dalam bentuk kesempatan maupun forum atau sarana lain, supaya anggota kelompok mengetahui gagasan-gagasan dan harapan-harapan yang dimiliki pemimpin atau sebaliknya pemimpin mengetahui harapan dari seluruh anggota, sehingga dengan diketahuinya oleh semua orang dalam kelompk maupun organisasi, maka untuk mewujudkan harapan ke arah pencapaian tujuan itu bisa dikerjakan bersama.
6.    Menggalang kekompakkan (Viscidity), yaitu mewujudka semua anggota kompak, baik secara fisik maupun psikologis untuk mencapai tujuan bersama. Apabila ada kesepakatan semua anggota merasa terikat dan membela apa yang telah disepakati (termasuk membela ancaman dari luar). Munculnya solideritas kelompok, biasanya berimbas pada sikap saling tolong-menolong. Selama dalam kontek positif, sikap semacam itu amat baik untuk terus dibina.
7.    Mengembangkan rasa kebahagiaan (Hedonic Tone), maksudnya adalah menciptakan rasa bahagia di antara anggota. Anggota merasa bahagia menjadi bagian dari kelompok ataupun organisasi, oleh karena itu kebahagiaan ini harus selalu ditumbuhkan dan dikembangkan oleh pemimpin agar kehidupan kelompok maupun organisasi selalu bersemangat.
8.    Syntality, maksudnya adalah kebersamaan dalam kelompok maupun organisasi, yaitu kebersamaan dalam tindakan dalam rangka mencapai tujuan.
9.    Mengimplementasikan filosofi, artinya bahwa pada umumnya organisasi maupun kelompok yang baik memiliki filosofi, ada yang tertulis maupun tidak tertulis. Filosofi ini biasanya terwujud dengan apa yang mendasari terbentuknya kelompok maupun organisasi, dalam hal ini pemimpin harus melaksanakan tindakan dan kegiatan menuju ke arah filosofi, tentunya dalam rangka dijadikan pedoman perilaku seluruh anggota untuk mempercepat tercapainya tujuan kelompok maupun organisasi.

B.   Jenis Kepemimpinan
Setiap pemimpin yang baik selalu memiliki karakter dalam memimpin, karakter ini menjadi pembeda antara pemimpin satu dengan lainnya, dan karakter ini pula sering disebut sebagai tipikal atau tipe, atau sering pula disebut dengan jenis kepemimpinan.
Terdapat beberapa jenis kepemimpinan yang telah diidentifikasi oleh pakar kepemimpinan, yaitu:
1.    Kepemimpinan Kharismatik, adalah kepemimpinan yang didasarkan oleh prestasi seseorang  di mana kebanyakan orang dalam kelompok maupun komunitas atau yang lebih luas lagi masyarakat tidak memilikinya. Dengan kemampuan yang luar biasa itulah ia selalu di muka, selalu dicontoh atau diteladani dan dikagumi. Ia memiliki daya tarik dan pembawaan luar biasa, yang mengakibatkan para pengikut taat kepadanya. Ia mempunyai pengikut yang besar jumlahnya, dan pengaruhnya tidak lekam dimakan jaman, meski Ia telah tiada, tetapi pengaruhnya masih kuat.
2.    Kepemimpinan Formal, adalah kepemimpinan yang didasarkan atas penunjukkan secara resmi, dan berdasarkan keputusan formal untuk menduduki jabatan tertentu dalam struktur kelompok maupun organisasi, di mana dengan status itu melekat kewenangan-kewengan tertentu. Sumber pengaruh jenis kepemimpinan ini, biasanya terletak bukan pada indifidu pemimpin itu, melainkan karena kursi atau kedudukannya.
3.    Kepemimpinan Informal, adalah kepemimpinan yang tidak mendapatkan pengangkatan formal sebagai pemimpin, akan tetapi ia memiliki sejumlah kualitas yang melekat dalam dirinya. Ia telah mencapai kedudukannya sebagai orang yang mampu mempengaruhi kondisi psikis dan perilaku individu maupun perilaku sosial berdasar atas pengakuan para pengikutnya.
4.    Kepemimpinan Situasional, adalah kepemimpinan yang muncul dalam situasi tetentu. Dalam situasi yang amat gawat dan rumit, tampil seorang yang berani dan mampu menolong kelompknya untuk keluar dari kemelut, kemudian menjadi berpengaruh. Pemimpin semacam ini biasanya tidak bias lama bertahan, dia akan tampak pengaruhnya ketika mampu mengatasi situasi darurat, dan akhirnya bisa  ke luar dari situasi tersebut.
5.    Kepemimpinan Tradisional, yaitu kepemimpinan yang dimiliki oleh seseorang, bukan karena mereka mempunyai kemampuan yang khusus seperti kepemimpinan kharismatik, akan tetapi karena mereka telah mampu mempengaruhi masyarakat.
6.    Kepemimpinan Headship, adalah jenis kepemimpinan yang diperoleh karena adanya penunjukkan dan berdasarkan keputusan secara formal.
7.    Kepemimpinan Attainment, yaitu kepemimpinan yang didasarkan pada prestasi seseorang. Kepemimpinan ini dapat berkembang menjadi kepemimpinan kharismatik. Ia memiliki daya tarik dan pembawaan yang luar biasa, sehingga mempuntai pengikut yang besar jumlahnya. Prestasi yang menonjol bukan hanya pada kekuatan fisik saja, melainkan juga pada kekuatan mental, baik bersifat ilmiah maupun non-ilmiah.